Beranda | Artikel
Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 2)
Minggu, 22 April 2018

Baca pembahasan sebelumnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 1)

Hubungan antara Penguasa dan Rakyat Menurut Ajaran Islam bukanlah Hubungan Timbal Balik

Sebagian orang menyangka bahwa hubungan antara pemerintah dan penguasa adalah hubungan timbal balik. Maksudnya, jika pemerintah berbuat baik kepada rakyat, maka rakyat pun taat kepadanya. Sebaliknya, jika pemerintah berbuat dzalim, maka rakyat boleh untuk tidak taat kepadanya. Ini adalah anggapan yang tidak benar, karena tidak sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit rahimahullah yang telah kami sebutkan di seri sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat meskipun sang penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri,

وَأَثَرَةً عَلَيْنَا

… meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.) … “ (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

Hal ini pun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan kembali di sabda beliau yang lainnya, dengan mengatakan,

سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا

Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku adanya (penguasa) yang lebih mementingkan pribadinya (dengan menelantarkan hak rakyat, pen.) dan berbagai kemunkaran (yang dilakukan oleh penguasa, pen.) yang kalian ingkari (karena hal itu adalah maksiat dan kemunkaran, pen.).”

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum mengatakan, “Bagaimanakah yang Engkau perintahkan kepada siapa saja di antara kami yang menjumpai masa-masa itu?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ

Tunaikanlah kewajiban kalian (berkaitan dengan hak penguasa, pen.), dan mintalah hak kalian kepada Allah Ta’ala (yang tidak diberikan oleh penguasa, pen.).” (HR. Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843. Lafadz hadits ini milik Muslim.)

Lihatlah, ketika penguasa menelantarkan hak-hak rakyat, maka Nabi perintahkan kita agar kita tetap melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat biasa, yaitu mendengar, taat, bersabar dan mendoakan penguasa dengan doa kebaikan. Adapun hak kita yang tidak ditunaikan oleh penguasa dzalim tersebut, kita minta hak tersebut kepada Allah Ta’ala. Inilah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, yaitu manusia mulia yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya.

Hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat menurut petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah hubungan timbal balik. Maksud hubungan timbal balik adalah jika salah satu pihak (pihak pertama) menunaikan hak orang lain (pihak ke dua), maka pihak ke dua menunaikan hak pihak pertama sebagai bentuk kompensasi. Dan jika pihak pertama tidak menunaikan hak pihak ke dua, maka pihak ke dua boleh untuk tidak menunaikan kewajibannya terhadap pihak pertama.

Contoh hubungan timbal balik adalah interaksi antara suami dan istri. Jika sang suami tidak memberikan nafkah kepada istri, maka istri boleh untuk tidak melayani sang suami ketika suami meminta hubungan biologis, misalnya. Sebaliknya, jika istri tidak menunaikan hak suami dengan selayaknya, boleh bagi suami untuk menahan nafkah istri dengan tidak memberikannya. Ini adalah contoh hubungan timbal balik dalam ajaran Islam.

Namun, hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan timbal balik. Artinya, jika penguasa (pemerintah) tidak menunaikan apa yang menjadi hak rakyat, atau bahkan dzalim terhadap rakyat, hal ini tidaklah menggugurkan kewajiban rakyat untuk tetap taat kepada pemerintah dalam hal-hal kebajikan (hal yang ma’ruf). Rakyat tetap wajib menunaikan hak pemerintah, yaitu mendengar dan taat. Karena jika rakyat boleh menentang penguasa, maka akan timbul kerusakan yang lebih besar, berupa kekacauan dan instabilitas keamanan.

Salamah bin Yazid Al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟

“Wahai Nabi Allah, apa pendapatmu ketika berkuasa atas kami seorang penguasa yang mereka meminta kepada kami untuk menunaikan hak mereka (penguasa), namun mereka tidak mau menunaikan hak kami. Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya, kemudian sang penanya pun bertanya lagi (ke dua kali), namun Nabi tetap berpaling. Sang penanya kemudian bertanya lagi untuk kali ke tiga, kemudian dia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu.

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat. Sesungguhnya kewajiban atas mereka (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada mereka (penguasa) dan menjadi kewajiban kalian (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada kalian (rakyat).” (HR. Muslim no. 1846)

Hadits ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat bukanlah hubungan timbal balik. Karena kewajiban bagi masing-masing pihak adalah menunaikan apa yang menjadi kewajiban masing-masing pihak tersebut.

Ketika Muncul para Pemimpin Berhati Setan namun Berjasad Manusia

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟

Wahai Rasulullah, dulu kami berada di atas kejelekan (jahiliyyah), kemudian Allah Ta’ala mendatangkan kebaikan yang kami sekarang berada di atasnya (yaitu Islam). Maka apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?

Rasulullah menjawab, “Iya.”

Hudzaifah berkata, “Apakah setelah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?

Rasulullah menjawab, “Iya.”

Hudzaifah berkata, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?”

Rasulullah menjawab, “Iya.

Hudzaifah berkata, “Bagaimanakah bentuk kejelekan tersebut?

Rasulullah menjawab,

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ

Akan ada setelahku para pemimpin (penguasa) yang mereka tidak melaksanakan petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku (ajaranku). Akan ada di tengah-tengah mereka sejumlah penguasa yang berhati setan, raganya saja yang berwujud manusia.

Hudzaifah kembali bertanya, “Apa yang harus kami perbuat jika kami menjumpai masa tersebut?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Hendaklah Engkau mendengar dan taat kepada penguasa, meskipun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1847)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan adanya pemimpin yang sangat bengis dan kejam, yang beliau gambarkan sebagai seorang pemimpin berhati setan, namun berwujud (berjasad) manusia. Tidak bisa kita bayangkan bagaimanakah bengisnya penguasa muslim tersebut. Namun, jika kita menjumpai pemimpin dengan model semacam itu, bagaimanakah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kita? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk tetap mendengar dan taat.

Dalam lafadz lain dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ تَكُونُ دُعَاةُ الضَّلَالَةِ، فَإِنْ رَأَيْتَ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةَ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَالْزَمْهُ، وَإِنْ نَهَكَ جِسْمَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ

Kemudian akan ada da’i-da’i penyeru kesesatan. Jika pada masa itu Engkau menjumpai penguasa di muka bumi, maka hendaklah Engkau komitmen (taat) dengan penguasa tersebut. Meskipun dia membuat kebijakan yang membuat badanmu kurus kering dan merampas hartamu.” (HR. Ahmad 5/403, Al-Hakim 4/432, Abu ‘Uwanah dalam Mustakhraj no. 5783, Al-Bazzar dalam Musnad no. 2569, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no. 36450. Hadits ini dinilai hasan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad.)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dan hadits lain yang semakna dengannya, para ulama mengutip ijma’ tentang dikecualikannya penguasa dalam masalah bolehnya seseorang mempertahankan (membela) diri ketika ada orang lain yang menyerangnya karena menginginkan nyawa dan hartanya secara dzalim, meskipun dengan membunuh orang yang menyerang tersebut. Ibnul Mundzir rahimahullahu Ta’ala mengatakan,

والذي عليه أهل العلم أن للرجل أن يدفع عما ذكر إذا أريد ظلما بغير تفصيل إلا أن كل من يحفظ عنه من علماء الحديث كالمجمعين على استثناء السلطان للآثار الواردة بالأمر بالصبر على جوره وترك القيام عليه

Yang menjadi (kesepakatan) ahlul ‘ilmi (ulama) bahwa seseorang boleh membela diri dari perkara yang disebutkan -yaitu berkaitan dengan nyawa dan hartanya- jika (nyawa dan hartanya tersebut) diinginkan oleh orang lain secara dzalim. Dan para ulama tidak memberikan rincian dalam masalah ini (maksudnya, siapapun yang menyerang, maka boleh membela diri, pen.). Akan tetapi, yang terekam dari para ulama ahli hadits, seakan-akan mereka bersepakat (dalam masalah ini), adanya pengecualian untuk penguasa berdasarkan berbagai hadits dan riwayat yang datang tentang perintah bersabar atas kedzaliman penguasa dan tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa.” (Fathul Baari, 5/148)

Baca pembahasan selanjutnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 3)

***

Diselesaikan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 25 Rajab 1439/ 12 April 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/38938-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-penguasa-muslim-yang-dzalim-02.html